Kemarin Senin (17/8) tepat saat memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia, Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta mengadakan seminar kepenulisan dengan tema: Dakwah melalui Sastra.

Dengan diketuai oleh Puput Lestari dari komplek R2, acara ini dapat sukses terselenggara mengundang dua penulis ternama, Habiburrahman El-Shirazy dan Aguk Irawan MN, sebagai pembicara. Tak kurang 140 peserta dari berbagai kalangan (santri, mahasiswa, hingga pekerja) memenuhi ruangan aula G Pondok Pesantren Al-Munawwir.

Seminar Kepenulisan di Pesantren Al-Munawwir Krapyak
Pada sesi pertama perkenalan, kekaguman para hadirin meluap usai mendengar pengakuan menggebu dari Habiburrahman El-Shirazy bahwa Beliau adalah santri Krapyak, bahkan karena cinta dan kekagumannya terhadap Mbah Yai Moenawwir (pendiri pondok pesantren Al-Munawwir), penulis yang biasa dipanggil Kang Abik ini menjadikan Mbah Yai sebagai salah satu tokoh dalam karyanya yang berjudul Api Tauhid.

Beda lagi dengan Kang Aguk, sebagai alumni komplek L, Pondok Pesantren Al-Munawwir, Beliau memaparkan bahwa semua karya yang dilahirkan murni karena ingin ngalap barokah (mencari barokah) dari kyai-kyai. Penulis novel Haji Backpacker ini menjelaskan betapa besarnya barokah yang didapat ketika melakukan riset melalui sowan ke kyai-kyai atau bahkan sampai menginap beberapa hari untuk mendapatkan informasi yang maksimal demi terjaganya keontentikan karya, dan tentu masih banyak lagi perjalanan mencari barokah lewat kegiatan menulis Kang Aguk yang tidak dapat disampaikan secara keseluruhan di sini.




Berikut rangkuman dialog antara narasumber dengan peserta seminar;

Mengetahui banyak novel Kang Abik yang difilmkan, apa tips membuat karya-karya itu hingga dapat diangkat ke layar lebar?

Awalnya saya tidak tahu jika karya-karyanya akan diangkat ke layar lebar, yang saya tahu adalah saya membuat karya yang terbaik. Karya saya harus bisa dinikmati oleh pembaca. Ketika buku sudah best seller, 70% bisa dikatakan masuk pintu perfilman. Maka buatlah karya yang tempat-tempatnya memiliki nilai sesuatu yang berbeda, seperti unik dan indah, misal Lumajang, Madinah, dan Turki. Demikian papar penulis kondang ini.

Menjadi penulis itu bukan sebuah kebanggaan melainkan rangkaian amal dalam beribadah. Beliau menjelaskan bagaimana seseorang mengelola niat sebelum menulis sebagaimana dalam kitab karangan Imam Suyuthi yakni Adabut Ta’lif (Adab Mengarang) di mana menulis harus dilandasi karena niat ibadah kepada Allah. Ulama’ sekaligus intelektual Imam Suyuthi juga membagi hukum menulis menjadi dua, bisa fardhu kifayah, bisa fardhu ‘ain. Hukum menulis menjadi fardhu ‘ain apabila seseorang mahir dalam suatu ilmu dan orang lain tidak tahu akan ilmu tersebut, maka fardhu ‘ain hukumnya menulis sebagai tujuan memberitahu atau mengingatkan orang sekitarnya.

Lalu, sebagai santri sekaligus mahasiswa dengan berbagai kegiatan bagaimana membagi waktu agar dapat menulis produktif?

Dalam Islam waktu sangat penting, hingga berkali-kali Allah menyebut dalam al-Qur’an mengenai hal ini, wadh-dhuha, wal-layli idza yaghsya, wal-fajr, wal-‘ashr dan masih banyak lainnya. Imam Ghozali juga menjelaskan tentang waktu sedetail-detailnya dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Seharusnya santri tidak gagap menghadapi persoalan pembagian waktu, sebab banyak kitab yang mengajarkan hal ini, seperti Ta’lim Muta’allim karya Syaikh Az-Zarnuji, Bidayatul Hidayah serta Ihya’ ulumuddin karya Imam Ghozali dan kitab-kitab lainnya.

Apa tips menulis sukses menurut Kang Aguk?

Kalau mau menulis, ya harus mau membaca. Sama halnya dengan menuang air, jika gelas kosong, maka apa yang akan kita tuang? Itu berarti jika ilmu kita kosong, maka apa yang akan kita tulis? Membaca juga bukan hanya sekedar buku atau kumpulan kalimat-kalimat, kita juga harus membaca manusia, membaca langit, membaca ombak, membaca pohon atau membaca hujan.

Istiqomah. Praktik dari tahap ini adalah menulis, menulis dan menulis.

Apa pesan dari Kang Abik untuk para calon penulis?

Inti menulis adalah berkomunikasi. Sebagai contoh jika anda menulis surat ijin kepada guru dan surat tersebut dapat diterima oleh guru tersebut, maka anda layak dijuluki penulis masa depan, selanjutnya tinggal bagaimana mengistiqomahkan diri untuk terus menulis mengembangkan potensi.

Tak terasa perbincangan hangat sore itu hampir usai, suasana syahdu berseling canda tawa menyelimuti seminar “Dakwah melalui Sastra”, lantas moderator menutup sesi talkshow dengan sebuah kalimat bijak, “hidupmu singkat, tapi namamu akan abadi jika kamu mau menulis.”

~
Kontributor: Fatkhul Tsani Rohana
MAJALAH ALMUNAWWIR
Share To:
Magpress

MagPress

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

0 comments so far,add yours