Wisuda 311 Khotimat
Selasa sore (31/3), jalanan Krapyak mulai ramai. Padahal acara baru akan dimulai 3 jam lagi. Pedagang- pedagang yang mencari peruntungan mulai menggelar lapaknya. Aneka macam jajanan, baju, tas, aksesoris dijajakan disini. Termasuk kumpulan-kumpulan santri yang juga berinovasi menggelar dagangan khas daerah masing-masing.

Malam itu, keluarga besar masyayikh dan santri Krapyak sedang punya hajatan, yakni memperingati haul ke-76 guru besar sekaligus pionir Pesantren Krapyak, almarhum KH. Muhammad Munawwir bin Abdullah Rosyad al-Muqri’. Hajatan besar Pondok Pesantren Krapyak yang digelar pada malam itu rupanya lebih ramai dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ditambah, agenda malam itu tidak hanya haul pendiri pesantren, tetapi juga ada Haflah Khatmil Qur’an Putri Pesantren Al-Munawwir yang digelar 2 tahun sekali. Tahun ini, Pondok Pesantren Al-Munawwir mewisuda sebanyak 311 khatimat, yang terdiri dari 37 khatimat 30 juz bilhifdzi, 18 khatimat 15 juz bilhifdzi, 81 khatimat 30 juz binnadzri, dan 175 khatimat juz amma.

Ba’da maghrib, para khatimat sudah berkumpul dan berjajar membentuk barisan, lalu berjalan beramai-ramai menuju pondok pusat. Dengan diiringi tabuhan rebana, para khatimat mulai menaiki panggung. Pengalungan samir kepada para khatimat dilakukan oleh tiga pengasuh, yaitu Ibu Nyai Hj. Khusnul Khatimah Warson, Ibu Nyai Hj. Ida Fatimah Zainal, dan Ibu Nyai Hj. Musta’anah Saniyah Najib.

Selain pengalungan samir, adanya khatimat 15 juz bilhifdzi juga memberi warna yang berbeda pada Haflah Khatmil Qur’an tahun ini. Diadakannya khataman 15 juz bilhifdzi ini bertujuan untuk memicu semangat para santri untuk mengejar hafalannya, namun bukan berarti hafalan mereka berhenti sampai di situ. Para khatimat 15 juz bilhifdzi tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hafalan mereka sampai 30 juz. Dengan diadakannya khataman 15 juz bilhifzi ini dapat membantu para santri tahfidz dalam mengatur waktu pencapaian hafalan mereka.
Para Khatimat dalam Khataman dan Haul Krapyak 2015
Kesan Khataman
Dari 311 khatimat tahun ini, kru Majalah ALMUNAWWIR sempat mewawancarai beberapa peserta Khatmil Qur’an yang berhasil ‘naik panggung’. Bagaimana kesan mereka? Berikut ini sekelumit kebahagiaan yang mereka bagikan.

Katrin Bandel, Santri Komplek R, Muallaf asal Jerman:
GARA-GARA AL-QUR’AN

“Waktu aku masuk pondok, Bu Ida langsung menyarankan ikut khataman, dan aku manut saja. Aku sempat agak kaget waktu pertama kali ikut, karena tadinya belum paham bahwa bacanya seperti itu. Sempat agak ragu apakah mampu menyesuaikan diri dalam waktu singkat. Tapi alhamdulillah kemudian aku enjoy- enjoy aja. Bagiku khataman itu sebentuk rasa syukur, sebab Al-Qur’an berperan besar dalam proses aku menjadi muslim. Waktu itu aku suka mendengar murottal, yang sama sekali belum kupahami artinya, hanya kunikmati bunyinya. Rupanya meski belum dipahami, bunyi Al-Qur’an mampu menundukkan hatiku.”
Noor Elysa, Santri Komplek Q, Khatimat 30 juz bilhifdzi:
PROSES NGAJI LEBIH PENTING

“Khatam bagiku adalah bukanlah akhir dari perjalanan ngaji seseorang, melainkan awal yang baru lagi. Sedangkan seremoni khataman, aku nganggepe biasa wae. Kata Pak Ihsan, khataman dianggap penting ya penting, dianggap nggak penting ya nggak penting. Karena proses ngaji itulah yang lebih penting dari wisuda khataman.”
A’yuninal Mahbubah, Santri Komplek Q, Khatimat 30 juz bilhifdzi:
MENJAGA KALAM ILAHI

“Khatam, hmm, banyak banget maknanya, ini sebuah langkah awal lagi dalam menjaga kalam-Nya, disinilah perjuangan dimulai, khatam bukan cuma dalam arti bacaan hafalan dalam bentuk lisan, tapi lebih dari itu. Di sinilah kita memasuki start pada jalan yang lebih jauh lagi, yaitu bagaimana kita benar- benar menjaga kalam ilahi dalam kehidupan baik itu dari segi akhlak, pikiran, perbuatan dan yang terutama hati.”
Khottul Izzah, Santri Komplek Q, Khatimat 30 juz bilhifdzi
SEBAGAI RASA SYUKUR

“Makna khataman, khususnya seremoni, saya niatkan bentuk rasa syukur kepada Allah, dan di acara seremoni yang terpenting adalah meminta ridho para Bu Nyai. Setelah saya khatam saya merasa ini awal dari perjuangan untuk mempertahankan hafalan, menjaga sikap dan segalanya yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an bisa memberikan syafa’at dan bisa memberikan sebaliknya (laknat) apabila  tidak dirawat dengan baik.”
Ita, Santri Komplek Q, Khatimat 30 Juz Bilhifdzi
TAKUT PULANG KAMPUNG

“Khatam adalah satu momen yang menyenangkan tapi ya menyedihkan, hehe, senang karena khatam Al-Qur’an, merupakan nikmat Allah yang paling besar. Sedih karena khatam tapi belum bisa nggelondong 30 juz. Dan khatam itu ibarate baru melangkah satu langkah aja, masih banyak langkah yang harus dijalani, karena belum benar- benar nyampek finish. Sedangkan seremonial khataman mungkin perlu karena sudah menjadi tradisi, sebagai momen untuk kenang-kenangan juga, tapi tidak harus mewah sebenarnya. Dan seharusnya bisa nggelondong dulu baru diwisuda. Sedih, sudah diwisuda, diketahui banyak orang, tapi belum bisa disimak 30 juz, takut mau pulang ke kampung halaman.”

Demikian rupa-rupa Khatmil Qur’an tahun ini. Semoga para khatimat dibimbing oleh Allah untuk senantiasa menjaga amanahnya, serta bagi santri yang belum khatam bisa menyusul di tahun-tahun berikutnya. Aamiin. [Amalia]

Pesan Pengasuh

“Jangan puas yang khotimat juz amma, harus naik ke binadhri, yang binadhri ke naik bil ghoib, dan yang bil ghoib 30 juz jangan puas juga, karena Al-Qur’an haruslah diamalkan dalam kehidupan."
Ny. Hj. Ida Fatimah Zainal Abidin
“Selamat untuk santriku. Jangan sombong karena telah menghapal Al-Qur’an, karena sesungguhnya tugas itu lebih berat. Terapkan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, dengan memperbaiki akhlaq. Jangan takabur, karena itu bukan sifat dari Al-Qur’an. Kita tidak boleh puas dengan apa yang telah kita dapatkan sekarang, karena menuntut ilmu itu akan tetap berlanjut walapun kita telah mendapatkan apa yang telah kita capai. Anggaplah sebagai awal untuk menuntut ilmu yang lebih dan mengamalkan yang lebih pula.”
Ny. Hj. Khusnul Khotimah Warson

Gus Mus: Antara Kernet dan Pendakwah


Majelis Haul menjadi puncak rangkaian acara haul ke-76 KH. M. Munawwir yang dihelat pasca prosesi Khotmil Qur’an putri. Pada acara ini, KH. Abdul Hafidh Abdul Qodir memberikan sambutan mewakili keluarga. Beliau menyampaikan bahwa setelah wafatnya para kiai sepuh seperti KH. A. Warson Munawwir dan KH. Zainal Abidin Munawwir dua tahun terakhir, kini tampuk kepengasuhan PP. Al-Munawwir telah masuk periode cucu. Kepada semua yang hadir, beliau lantas meminta doa agar ke depan kepengasuhan pesantren tetap berjalan dengan baik. “Semoga yang masih hidup senantiasa diberi kesehatan, sehingga bisa meneruskan perjuangan dan kebaikan yang telah diwariskan KH. M. Munawwir,” tuturnya.

Hadir pula dalam acara tersebut Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam sambutannya, beliau mendukung acara haul sebagai salah satu tradisi yang perlu dilestarikan. Sebab menurutnya, dalam peringatan haul terdapat rangkaian-rangkaian acara yang positif. “Haul menjadi wahana pendidikan umat yang membantu Kemenag untuk menangkal Islam radikal,” ujarnya.

Selanjutnya, KH. Muhtarom Ahmad selaku ketua Ikatan Alumni Pondok Pesantren Al-Munawwir (IKAPPAM) menyampaikan beberapa rekomendasi hasil pertemuan alumni siang harinya. Pertama, sebagai jaringan alumni, IKAPPAM harus dibenahi secara manajerial, termasuk penguatan komunikasi jaringan setiap daerah atau cabang. Kedua, harus ada upaya untuk menjaga peninggalan para masyaikh Krapyak berupa karya tulis, yakni dengan pengelolaan pustaka dan penerbitan. Ketiga, tetap mempertahankan sistem pendidikan ala pesantren sebagai model pendidikan asli Nusantara, pusat tafaqquh fid diin, subkultur agen perubahan masyarakat, serta memiliki keunggulan berupa kesinambungan sanad dan bimbingan spiritual guru. Keempat, menghimbau pemerintah agar memberantas gerakan-gerakan radikal yang menodai agama, secara kultural dan multidimensional.

Menempati inti acara, Rais ‘Aam PBNU KH. A. Mustofa Bisri didapuk menyampaikan mauidzoh hasanah yang telah dinanti-nanti para hadirin. Di awal uraiannya, ulama sekaligus seniman yang akrab disapa ‘Gus Mus’ ini menepis tudingan bahwa haul merupakan bid’ah. “Sebaliknya, haul merupakan sunnah hasanah,” tutur kiai kharismatik itu.
Pesan Gus Mus
Menurut beliau, banyak hikmah yang bisa diambil dari acara haul. Pertama, haul mengingatkan manusia akan kematian. Sebab dengan mengingat kematian, seseorang akan senantiasa bermuhasabah dan menghindarkan diri  dari kemungkaran. Maka haul ini adalah sarana pengingat kematian, terutama bila mengingat kiprah hidup sosok yang dihauli, tentu kita akan merasa malu.

“Kalau suatu saat engkau memikul keranda ke kuburan, ingatlah bahwa suatu ketika kau akan dipikul juga. Karena kau tidak bisa memikul kerandamu sendiri. Kalau suatu saat engkau diserahi jabatan, maka ingat suatu saat kau akan lengser atau dilengserkan,” ujar Gus Mus menerjemahkan selarik syi’ir.

Kedua, haul menjadi momentum mengenang dan meneladani ulama. “Kita datang ke haul Mbah Munawwir karena kita semua kangen akan sosoknya,” tutur pengasuh Pesntren Raudlatut Thalibin Rembang itu.

Beliau melanjutkan, kiai-kiai terdahulu, termasuk generasi KH. M. Munawwir, memiliki banyak kelebihan dibanding kiai sekarang. Kiai-kiai yang beliau sebut ‘lawas’ itu punya ciri khas berupa rasa kasih sayang dan sifat rendah hati yang kental. Rasa welas asih itu ditunjukkan dengan sifat mengayomi dan mau membimbing siapapun umatnya ke jalan yang benar. Dakwah yang dilakukan dengan penuh hikmah bukan kekerasan, “Kalau dulu yang kafir di-islam-kan, sekarang justru sebaliknya, orang Islam dikafir-kafirkan,” ujar Gus Mus.

Beliau menyindir pemahaman beberapa kalangan umat yang suka mengkafir-kafirkan, karena tidak memahami betul apa itu Ruh ad-Da’wah. Yakni semangat dan kegigihan dalam berdakwah sesuai dengan makna aslinya, yaitu ‘mengajak’ bukan menyuruh apalagi mengancam. Terminologi ‘dakwah’ jangan sampai dicampurbaurkan dengan ‘amr ma’ruf’ dan ‘nahi munkar’ karena sudah berbeda tahapan. Gus Mus memberikan satu permisalan tentang hal ini.

Ada seorang kernet yang merangkap calo di terminal, dia mengajak penumpang untuk naik bis. Siapa yang diajak? Tentu orang-orang yang belum naik bis, bukan orang-orang yang sudah duduk di dalam bis. Dia melakukan upaya persuasif dan simpatik saat mengajak agar orang yang diajak mau naik, merayu-rayu tanpa memaksa, nah itulah ‘dakwah’.

Lalu setelah orang-orang sudah naik dan masuk ke dalam bis, mereka duduk di kursi masing-masing, barulah si kernet memberi perintah kepada penumpang untuk membayar, menariki karcis, inilah ‘amr bil ma’ruf’. Ketika bis hendak melaju, si kernet mengumumkan dengan nada larangan agar para penumpang tetap duduk tenang dan jangan mengeluarkan tangan di jendela bis, inilah ‘nahy 'anil munkar’.

Maka, tiga istilah tersebut harus betul-betul dipahami oleh setiap orang yang mau berdakwah. Agar tidak mencampuradukkan antara dakwah dan amr ma'ruf nahi munkar. Sehingga tidak berdakwah secara serampangan, dengan memaksa, baik itu menyuruh ataupun melarang, melainkan bisa berdakwah dengan penuh asih dan betul-betul mengajak.

Sementara itu, sikap rendah hati merujuk pada gaya hidup kiai-kiai ‘lawas’ yang sederhana. “Kiai Munawwir, Kiai Ali, Kiai Dalhar, Kiai Zainal, dan Kiai Warson semua sederhana,” tutur beliau. Gaya hidup sederhana ini menurut beliau patut dicontoh oleh umat Islam masa kini. “Sebab dengan hidup sederhana kita akan lebih tenang menghadapi problematika hidup. Misalnya ya tak perlu risau dengan fluktuasi harga BBM,” lanjutnya berkelakar.

Di samping meneladani sikap hidup para ulama, haul juga disebut Gus Mus sebagai momentum untuk menegaskan perlunya meneruskan ajaran atau nasyrul ilmi yang telah dikembangkan para ulama. Gus Mus menilai, KH. M. Munawwir bukan kiai sembaragan. Almarhum telah meninggalkan ilmu yang begitu berharga, “Bacaan Qur’an KH. M. Munawwir dijamin pertanggungjawabannya karena memiliki sanad yang tersambung kepada Rasulullah. Itu yang harus senantiasa dijaga,” ujarnya.

Hikmah haul yang ketiga menurut Gus Mus tak lain adalah mencari berkah. Dalam haul yang terdapat tradisi menghaturkan doa kepada para ulama barangkali menimbulkan pertanyaan, untuk apa kita mendoakan para kiai sementara mereka adalah waliyullah? Gus Mus mengatakan, mengirim doa kepada waliyullah adalah seperti bersholawat. “Ibaratnya kita mengisi gelas penuh air hingga meluber. Nah luberan itulah barokah yang akan kembali lagi kepada kita,” pungkasnya. [Amalia, Nisa]

Majalah ALMUNAWWIR VI/2015
Share To:
Magpress

MagPress

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

0 comments so far,add yours