Beberapa hari menjelang haul ke-76 Mbah Munawwir, panitia haul menggelar beberapa rangkaian pra-acara. Di antaranya; Obrolan Santai Al-Qur’an, Bahtsul Masail Pra Muktamar, Bedah Buku Biografi Mbah Warson, Majlis Burdah, dan Temu IKAPPAM. Semua ini merupakan rangkaian yang digagas oleh panitia, bekerjasama dengan beberapa pihak.

Nuansa Al-Qur’an
Pada Ahad (22/3) digelar diskusi santai tentang fenomena sosial yang berkaitan dengan Al-Quran. Dengan mengambil tema “Resepsi dalam Tradisi Al-Quran di Indonesia”, forum ini mencoba melacak tradisi-tradisi resepsi terhadap Al-Qur’an di tengah budaya keislaman di Indonesia. Narasumber dalam forum ini adalah Ust. Ahmad Rafiq, Ph.D. dan Ust. Abdul Jalil Muhammad, M.S.I.

Wadah diskusi santai ini adalah agenda rutin yang diselenggarakan Komplek Madrasah Huffadh Al-Munawwir, sebagai salah satu bentuk upaya menghidupkan semangat tradisi keilmuan tentang Al-Qur’an, sebagaimana yang digagas oleh muassisnya. Kebetulan, obrolan santai bulan ini bertepatan dengan agenda haul, maka penyelenggaraan digelar atas kerjasama Madrasah Huffadh dengan Panitia Haul ke-76 Mbah Munawwir.

Bahtsul Masail Pra Muktamar NU
Sabtu siang hingga malam (28/3), suasana Krapyak lebih semarak dari biasanya. Puluhan kiai berkumpul di Krapyak untuk menghadiri Bahtsul Masail Pra Muktamar yang diselenggarakan atas kerja sama LBM PBNU dan Ma’had ‘Ali Al-Munawwir.

Sebagaimana disampaikan oleh ketua panitia, KH. Yahya C. Staquf, agenda Bahtsul Masail Pra Muktamar ini mengambil lokasi di Pesantren Krapyak sebab nilai historis dan ideologis. Menurutnya, Pesantren Krapyak adalah salah satu soko guru pondasi pemikiran organisasi NU maupun pesantren-pesantren bercorak NU. Ada tiga tema yang dibahas dalam Bahtsul Masail ini, yakni hukum BPJS Kesehatan, polemik antrian haji, dan khashais Ahlissunnah wal Jama’ah dalam perspektif Nahdlatul Ulama.

Bedah Buku Biografi Mbah Warson
K.H. A. Warson Munawwir (Kiai Warson) adalah arsitek di balik lahirnya karya monumental kamus Al-Munawwir. Beliau dikenal tidak saja sebagai seorang intelektual, melainkan juga ulama, politisi, pengusaha, sekaligus wartawan. Di sisi lain, secara pribadi, beliau meninggalkan kesan yang kental sebagai sosok penyayang baik di lingkungan keluarga, kerabat, maupun para santri. Biografi Kiai Warson yang berjudul “Jejak Sang Pionir Kamus Al-Munawwir” ingin mengungkap sosok almarhum dari dua sisi tersebut, ketokohan dan kehidupan sosialnya.

Buku yang ditulis oleh dua orang santri Komplek Q yaitu Khalimatu Nisa dan Fahma Amirotul Haq itu diluncurkan sekaligus dibedah dalam acara bertajuk “Launching dan Bedah Buku: Jejak Sang Pionir Kamus Al-Munawwir”. Sebagai pembedah buku, hadir orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan Kiai Warson. Mereka adalah K.H. Munnawwir Abdul Fattah, K.H. Habib A. Syakur, K.H. Dr. Hilmy Muhammad, K.H. Muslih Ilyas, Drs. H. Suhadi Chozin, Dr. Sri Harini, M.Si., dan Hindun Zakiyah, S.Ag.

Oleh para narasumber, kesempatan itu dimanfaatkan untuk memberi kritik dan saran terhadap buku, sekaligus bernostalgia dengan sosok Kiai Warson. K.H. Munawwir Abdul Fattah banyak memberi masukan serta koreksi terhadap buku baik dari segi penulisan maupun verifikasi data. “Di bab-bab awal, tulisan masih terasa meloncat-loncat,” tutur beliau. Penulis buku “Pak Ali dalam Facebook” yang sekaligus murid K.H. A. Warson Munawwir ini juga membetulkan beberapa penulisan istilah yang kurang benar. Beliau mengatakan, masukan-masukan tersebut diberikan sebagai saran perbaikan untuk cetakan selanjutnya.

Sementara itu, K.H. Habib A. Syakur berpendapat, dalam buku, sosok Kiai Warson ditampilkan seperti Nabi Yusuf Al-Karim Ibn Karim Ibn Karim dan Ibn karim. Di bab-bab awal, penulis terlebih dahulu menggambarkan siapa Mbah Hasan Bashori, siapa Mbah Abdullah Rosyad, siapa Mbah Munawwir dan siapa Kiai Warson. Menurut beliau, biografi tersebut juga berupaya untuk menghadirkan semua fase dan sisi kehidupan Kiai Warson secara keseluruhan. Namun, sisi perjuangan Kiai Warson sebelum beliau sukses menurutnya perlu lebih ditonjolkan. “Agar kita tidak hanya melihat seseorang ketika dia telah sukses melainkan juga prosesnya,” ujar beliau.

Selebihnya, narasumber lain banyak menceritakan pengalaman-pengalamannya dengan Kiai Warson. K.H. Dr. Hilmy Muhammad memberikan apresiasnya terhadap kamus Al-Munawwir. Menurut beliau, kamus Al-Munawwir berhasil menghimpun kosakata yang masih populer di kalangan masyarakat sehingga menjadi kamus yang paling banyak digunakan se-Asia Tenggara. Beliau juga menilai, pengabdian Kiai Warson terhadap pesantren begitu tulus. “Kiai dulu beda dengan kiai sekarang. Kiai dulu, tidak menjadikan pesantren sebagai sumber penghasilan. Beliau mencari penghasilan sendiri dengan berwirausaha. Kiai Warson pernah usaha jual-beli mobil dan motor, kecap, hingga telur bebek,” tutur beliau.

Hindun Zakiyah, S.Ag. santri alumni Komplek Q yang diasuh secara langsung oleh Kiai Warson mengatakan, hadirnya biografi Kiai Warson mampu menjadi pengobat rindu terhadap sosok almarhum. Bapak, begitu para santri akrab memanggil Kiai Warson, dikenal familiar kepada santrinya. Meski sudah boyong dari pondok, almarhum tetap menjalin komunikasi via telepon dengan para alumni. “Bapak rutin menelepon tiap sebulan sekali meski hanya sekadar menanyakan kabar,” ungkapnya.

Senada dengan Hindun, Dr. Sri Harini, M.Si. juga mengungkapkan kedekatannya dengan Kiai Warson. Ia mengatakan, “Hubungan emosional yang terjalin antara santri dan Kiai Warson sangatlah dekat. Membaca biografi ini, saya merasa Kiai Warson masih hidup di tengah-tengah kita.” Bersama para alumni dan santriwati Komplek Q, Dr. Sri Harini berencana menerbitkan buku selanjutnya, yaitu bunga rampai tulisan tentang Kiai Warson. “Harapannya nanti semua santri maupun kerabat bisa menulis tentang beliau,” ujarnya.

H. Suhadi Chozin, S.Ag juga memiliki kedekatan dengan Kiai Warson sebagai santri yang pernah ndherek almarhum. Kiai Warson banyak mempercayakan tugas-tugas kepada H. Suhadi. Dalam interaksi tersebut H. Suhadi mengatakan, Kiai Warson selalu berpesan agar santri harus bisa mandiri. Hal itu menjadi motivasi H. Suhadi untuk mengembangkan usahanya hingga kini berbuah manis. Ketika akan menikah, Kiai Warson juga yang pergi melamarkan calon istri untuk H. Suhadi. “Bagi saya, Bapak telah mengukir kehidupan saya dalam segala hal,” ujar H. Suhadi yang tak kuasa membendung air mata.

Sementara itu, bagi K.H. Muslih Ilyas, Kiai Warson adalah mentornya di dunia politik. Beliau merasa, berkat bimbingan beliau, ia yang semula tukang masak di dapur ndalem K.H. Ali Ma’shum bisa menjadi anggota DPRD tiga kali periode. Ketika mengenang hal itu, manajer penerbitan Kamus Al-Munawwir ini pun turut meneteskan air mata.

Banyaknya narasumber berikut paparan yang disampaikan membuat acara bedah buku berlangsung cukup lama sehingga tidak menyisakan waktu tanya jawab bagi audiens. Di penghujung acara, Ikhsanudin, M.si selaku moderator memberikan kesempatan kepada penulis untuk memberi closing statement. Khalimatu Nisa, yang hadir sekaligus mewakili Fahma Amirotul Haq mengatakan, biografi tersebut awalnya merupakan angan-angan santri untuk merekam kisah hidup Kiai Warson, pasca meninggalnya almarhum. Ide tersebut kemudian disetujui oleh pengasuh Komplek Q Nyai Hj. Husnul Khotimah Warson.

Santriwati yang juga berkuliah di Fisipol UGM ini mengatakan, buku yang ditulis oleh santri ini akan ditujukan kepada para santri pula, terutama para santriwati baru Komplek Q yang belum sempat bertemu dengan almarhum. “Sebagai santri kita perlu mengenal dan meneladani kiai kita. Buku ini ingin menjadi media untuk memperkenalkan beliau,” ujarnya. Dalam kesempatan itu ia mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Nyai Hj. Husnul Khotimah Warson atas dukungan yang telah diberikan untuk berkarya. Ia juga berharap, santri-santri yang lain dapat mengembangkan tulisan-tulisan tentang Kiai Warson. “Mungkin santri yang punya konsen dalam ilmu bahasa bisa menulis tentang kamus beliau, atau bisa juga menulis pemikiran-pemikiran beliau secara lebih mendalam,” pungkasnya.   [Churin, Amalia]

Kesyahduan Burdah
Ratusan santri PP. Al-Munawwir memadati halaman Masjid Al-Munawwir Minggu (28/3) untuk bersholawat Burdah bersama dalam rangka acara pra-haul KH. M. Moenawwir Bin Abdullah Rosyad. Sholawat Burdah yang dihadiri para dzurriyah KH. M. Moenawwir ini bertujuan sebagai ajang silaturrahim antar Komplek dan untuk mempererat ukhuwah islamiyah. Setelah pembacaan Burdah selesai dilajutkan dengan pembacaan manaqib oleh KH. Hilmy Muhammad dan mau’idhoh hasanah oleh KH. Muhtarom Busyro.

Dalam pembacaan manaqib KH. M. Moenawwir, diceritakan awal perintisan Pondok Krapyak hingga berkembang pesat seperti saat ini, kehidupan rumah tangga beliau, hingga kebiasaan sehari-hari beliau. KH.M. Moenawwir belajar al-qur’an, tafsir, dan ilmu agama lainnya di Mekkah pada tahun 1888. Kemudian pada tahun 1909, beliau pulang ke tanah air, menetap dan mengajar di Kauman, Yogayakarta. Pada tahun 1910, beliau pindah dan menetap di Krapyak atas saran dari KH. Said Cirebon, dan memulai merintis Pondok Pesantren Krapyak.

KH. M. Moenawwir berperawakan tinggi, selalu berpakaian rapi, gemar memakai jubah serta sorban. Beliau memotong rambut sebulan sekali dan memotong kuku seminggu sekali pada hari Jum’at. Riyadhoh beliau yaitu khatam al-qu’an 3 hari 3 malam selama 3 tahun, bahkan beliau pernah mengkhatamkan al-qur’an selama 40 hari tanpa berhenti.  Beliau wafat pada Jumat, 11 Jumadal Akhiroh pada tahun 1942 M. Dari tangan dingin beliau, lahir para Kiai besar seperti KH. Arwani, KH. Umar, KH. Zainuddin Muhsin, KH. Rifa’i Dawamudin,dsb.

KH. Hilmy Muhammad juga mengatakan dalam pembacaan manaqib “Yang pantas dihauli adalah yang semasa hidupnya pantas ditiru dan diteladani”, sehingga sudah seharusnya santri-santri saat ini berguru pada keistiqomahan dan kesungguh-sungguhan beliau dalam menuntut ilmu dan mengahafalkan al-qur’an.

Di akhir rangkaian acara pembacaan qasidah burdah, KH. Muhtarom Busyro dengan gayanya yang khas bercerita tentang sejarah Burdah. Burdah bermakna selimut karena pada saat itu pengarang Burdah, Imam Busyiri bermimpi bertemu nabi kemudian nabi memberikan selimut. Diceritakan, Imam Busyiri menderita penyakit kulit dan ketika beliau membacakan qasidah burdah tersebut, hilanglah semua penyakit kulit tersebut. Semoga dengan pembacaan qasidah burdah dalam rangka acara pra-haul KH. M. Moenawwir ini, dapat menambah kecintaan kita pada Nabi dan kita dapat meneladani KH.M. Moenawwir.  [Nisa, Asha]
Pembacaan Kasidah Burdah sebagai Pra Acara Haul Krapyak
Majalah ALMUNAWWIR VI/2015
Share To:
Magpress

MagPress

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

0 comments so far,add yours